Perasaan kita juga milik Tuhan, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk memanjakan perasaan kita.
Akar dari kerusakan hidup manusia adalah dosa (Rm 3:23). Ini mengakibatkan beberapa hal mewarnai temperamen atau watak seseorang yang pada gilirannya mewarnai perasaannya. Pertama, faktor keturunan. Anak-anak merekam karakter orang tuanya, sehingga perasaannya dipengaruhi oleh karakter itu. Kedua, lingkungan. Pendidikan, keluarga, pergaulan dan sebagainya mempengaruhi warna perasaan seseorang. Ketiga, pengalaman masa lalu. Pengalaman yang menyenangkan maupun yang traumatis turut membentuk kepribadian seseorang.
Karena temperamennya yang mempengaruhi perasaan seseorang jika diperhadapkan dengan suatu situasi, ada orang yang gampang tersinggung, gila hormat, selalu minder, merasa tertolak, gampang marah dan lain sebagainya. Ini merupakan perasaan yang sakit dan tak jarang melukai perasaan orang di sekitarnya, bahkan menimbulkan bencana.
Kita harus sadar bahwa tatkala kita bertobat, maka Tuhan Yesus telah menebus seantero diri kita, termasuk perasaan kita yang ada dalam jiwa kita. Artinya kita bukan lagi milik kita sendiri (1Kor 6:19-20), sehingga tidak ada alasan lagi bagi kita untuk memanjakan perasaan kita. Tidak bisa lagi kita mengatakan, “Memang saya dari dulu orangnya begini”, sebab kita tidak memiliki diri kita lagi.
Memanjakan perasaan kita berarti mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan Tuhan sendiri. Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan dengan Kristus, sehingga kita tidak boleh lagi menghambakan diri pada dosa. Yang disalibkan bukan hanya pikiran dan keinginan kita, melainkan juga perasaan kita.
Dengan mengakui bahwa kita telah mati bagi dosa dan dibangkitkan dalam hidup yang baru, maka perasaan-perasaan negatif kita juga telah mati. Memanjakan perasaan-perasaan itu berarti melestarikan kepuasan diri kita, padahal semestinya tidak ada lagi kepuasan diri yang kita sisakan, sebab apabila Yesus Kristus menjadi Tuhan kita, berarti Ia juga Majikan atau Penguasa atas perasaan kita. Demi kepentingan-Nya, kita harus rela berbuat apa saja.
Berapakah harga perasaan kita sebenarnya? Seharga salib Tuhan Yesus, karena kita telah disalibkan bersama dengan-Nya. Dengan menyadari hal ini, maka kita tidak akan memanjakan perasaan kita yang berakibat gagal menjadi berkat bagi orang lain; sebaliknya kita akan terus-menerus belajar dan berusaha mengenakan pikiran dan perasaan Kristus (Flp 2:5).
Dikutip dari Warta Jemaat Rehobot Ministry 27 Februari 2011