Menyangkal Diri

Menyangkal diri pada prinsipnya bukan hanya menyangkut masalah tindakan-tindakan lahiriah yang dianggap tidak bermoral seperti membunuh, berzinah, mencuri dan lain sebagainya, tetapi juga kesediaan untuk mengubah tujuan dan motif hidup.

Sesungguhnya Tuhan tidak pernah memaksa kita. Kita boleh memilih, apakah mau mengiring Tuhan Yesus dengan sungguh-sungguh sampai sepenanggungan dengan Dia, atau hanya mau nikmat di zona kenyamanan kehidupan ini. Dalam hal ini kita mengerti mengapa Paulus menyatakan bahwa ia lebih suka menderita bagi Tuhan (Flp 3:10).

Ini hanya bisa dipercakapkan dengan orang=orang yang rela tidak memiliki dirinya sendiri, tetapi sepenuhnya dimiliki Tuhan. Orang-orang yang melakukan segala sesuatunya hanya untuk Tuhan. Orang-orang yang rela kehilangan nyawanya karena Tuhan. Memang kehidupan seperti ini bisa sangat menyakitkan, tetapi kalau kita berani melangkah dan membiasakan diri masuk ke dalamnya, maka kehidupan seperti ini akan menjadi suatu keindahan dan kenikmatan, sampai akhirnya kita tidak dapat memiliki hidup model lain. Kita hanya memiliki model hidup seperti dimiliki oleh sosok Guru dari Nazaret. Setiap kita mendapat kesempatan yang sama untuk mengarungi hidup ini dengan petualangan yang luar biasa bersama dengan Tuhan. Firman-Nya atas seseorang akan membuat ia tidak merasa nyaman lagi hidup di bumi ini.

Ia melihat ketragisan hidup ini, namun tetap bisa menikmati semua berkat yang Tuhan sediakan. Selanjutnya ia makin menghayati apa artinya bahwa dunia ini bukan rumahnya. Dunia ini hanya tempat persinggahan sementara. Inilah yang harus terus-menerus diajarkan kepada jemaat Tuhan, bahwa Tuhan memilih kita untuk meninggalkan dunia ini sama seperti Abraham diperintahkan untuk meninggalkan Ur-Kasdim. Apakah pola hidup ini membuat seorang anak Tuhan nampak tidak wajar? Tuhan tidak mengajarkan kita hidup secara tidak wajar di mata manusia. Kita tetap hidup wajar, dalam pengertian tidak kehilangan “kemanusiaan” kita.

Menjalani hidup seperti manusia lain dalam bekerja mencari nafkah, makan dan minum, menikah, menikmati alam, mengembangkan dan menikmati kreasi seni, menikmati hobi-hobi yang menyukakan hati, berolah raga, berekreasi dan lain sebagainya. Menyangkal diri pada prinsipnya bukan hanya menyangkut masalah tindakan-tindakan lahiriah yang dianggap tidak bermoral seperti membunuh, berzinah, mencuri dan lain sebagainya, tetapi juga kesediaan untuk mengubah tujuan dan motif hidup. Jadi yang paling dipersoalkan bukanlah “buah” semata-mata, tetapi akarnya. Kita mengerti mengapa Paulus berkata bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang (I Tim 6:10), tradisi yang diturunkan nenek moyang kita. Inilah yang ditunjukkan Tuhan Yesus mengenai orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri tetapi tidak kaya di hadapan Tuhan. Filosofi hidupnya adalah, “Marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati” (I Kor 15:32). Bukankah ini filosofi dunia hari ini? Ungkapan “tidak kaya di hadapan Tuhan” hendaknya menyerukan kita agar kita kaya di dalam Tuhan. Untuk kaya di dalam Tuhan, kita harus mengumpulkan harta di sorga, dengan mulai memiliki motivasi dan tujuan hidup yang benar mulai dari sekarang. Hal ini bukan sekedar membantu pelayanan gereja, terlibat dalam aktivitas gereja dan berbagai kegiatan rohani lain yang kita golongkan melayani Tuhan, tetapi menyangkut seluruh irama hidup setiap hari.

Dikutip dari Warta Jemaat Rehobot Ministry 24 Januari 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *