Nabi Habakuk adalah nabi yang dipakai untuk melayani umat Israel yang dalam kondisi dijajah, dianiaya, disiksa oleh suatu bangsa yang besar yaitu orang Kasdim. Nabi Habakuk melihat keadilan muncul terbalik, umat Israel dianiaya dan diperlakukan tidak adil maka nabi ini berteriak kepada Tuhan: Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Jadi konteksnya, nabi berseru meminta suatu pemulihan dan pembebasan bangsa. Tuhan menjawabnya dalam ayat 5-9. Bahwa justru Tuhanlah yang menyebabkan semuanya itu, orang Kasdim itulah yang dibangkitkan Tuhan untuk menindas umat Tuhan.
Ketika keinginan atau kemauan manusia tidak dipenuhi oleh Tuhan, maka sangat manusiawi dalam diri manusia termasuk nabi, pendeta, pelayan ataupun jemaat timbul di dalam hatinya rasa tidak suka kepada Tuhan dan kalau rasa tidak suka itu berkembang maka akibatnya mulai meremehkan dan bisa menghina Tuhan. Hal ini nyata dalam diri Habakuk, dalam ayat 12-13, Bukankab Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa. Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman. Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia? Kalimat yang disampaikan Nabi Habakuk cenderung mengajari Tuhan dan dalam proses seperti ini keadaan bisa lebih parah. Dalam ayat selanjutnya dikatakan: Engkau menjadikan manusia itu seperti ikan di laut, seperti binatang-binatang melata yang tidak ada pemerintahnya. Dalam hal ini Habakuk tahu bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan akan tetapi dia mengatakan bahwa tidak ada pemerintahnya. Kalimat ini cenderung meremehkan Tuhan, inilah sifat manusia akan tetapi di dalam diri Habakuk masih ada suatu hal yang positif di tengah-tengah kekecewaannya karena doanya tidak dikabulkan Tuhan. Pada pasal 2:1, Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menanti kata apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku. Sekalipun pikirannya tidak sama dengan pikiran Tuhan, sekalipun keinginannya tidak dipenuhi oleh Tuhan, sekalipun ia kecewa, mulai sakit hati, mulai meremehkan Tuhan, tetapi masih ada suatu sikap positif di bidang kerohaniannya yaitu dia masih mau menanti di menara Tuhan.
Mungkinkah kita masih punya sikap seperti itu? Banyak persoalan tetapi kaki kita masih mau ke gereja, masih mau berdoa, masih mau berlutut, masih mau melayani. Apakah masih ada sikap seperti ini? Tentulah kita mengetahui keberadaan diri kita sendiri. Pertanyaan klasik dalam bergumul adalah: “Saya melihat orang bergumul dan mereka menang dalam pergumulannya. Kenapa hidupku banyak pergumulannya?” Memang setiap manusia sekalipun dia tidak percaya pada Tuhan Yesus, apalagi dia menjadi anak Allah, menjadi orang Kristen, pergumulan pasti banyak. Dunia yang kita hidupi seperti ini dan kalau kita tidak mau bergumul, jangan hidup di bumi. Semua orang pasti bergumul dan kalau tidak ada pergumulan itu bukan hidup. Kenapa harus ada pergumulan? Justru pergumulanlah yang membawa kita pada suatu dimensi kerohanian yang mengenal Tuhan yang makin lama makin dalam.
Kenapa demikan? Karena tidak ada jalan lain karena pemahaman tentang Tuhan harus bertumbuh terus. Ketika orang mengerti Tuhan, contohnya: A,B,C, orang mengerti Tuhan cukup sampai di situ dalam arti: Pokoknya saya diberkati dengan anak cucu, usahaku, pelayananku, rumahku sudah cukup sampai menempati zona nyaman. Padahal Tuhan itu juga D,E,F,K,L,M,X,Y,Z tetapi kalau kita memahami A,B,C saja kita tidak pernah bertumbuh dan mengenal Tuhan dengan baik. Marilah kita melihat tokoh-tokoh dalam Alkitab, apakah Bapa Abraham tidak bergumul? Abraham mendapatkan anak di usia 100 tahun, Sarah melahirkan anak di usia 90 tahun. Abraham bergumul untuk mendapatkan anak. Demikian juga apa yang dialami Nabi Hosea, Tuhan menyuruhnya untuk mengawini perempuan sundal. Kalau dikontekstualisasikan di jaman kita, Tuhan suruh Pendeta untuk menikahi wanita tuna susila. Apa maksud Tuhan? Karena bangsa Israel sudah bejat di mata Tuhan. Tuhan pakai Hosea sebagai alat peraga untuk memberitahukan kepada umat-Nya. Habakuk minta pemulihan bangsa, Tuhan bilang: Saya hukum, Yunus minta penghukuman atas Ninewe, Tuhan bilang: Saya ampuni. Tuhan terlalu besar untuk kita pahami dalam hal ini. Apa yang kita pikirkan salama ini dalam kasus kita? Jikalau muncul pikiran negatif, cepat dihapus dan menyadari sambil berkata: Tuhan selama ini saya salah memahami tentang Engkau. Perjalanan hidup orang percaya sejak ia lahir sampai suatu hari ia percaya pada Yesus, sampai ujung hidupnya semua sudah dalam rencana Tuhan. Dalam perja]anan seperti itu bisa timbul lika-likunya, bisa timbul penyimpangan karena kita tidak tetap dalam jalurnya Tuhan, karena bandelnya kita, karena dosa orang lain menyebabkan kita menderita, karena dosa kita membuat kita menderita. Nanti Tuhan jewer membawa kita ke jalurnya Tuhan. Tetapi kita tetap tidak mampu merangkai dengan baik.
Orang yang mau dipakai Tuhan memasuki suatu wilayah kerohanian yang tidak kita ketahui, di situ kita menemukan hal-hal yang sangat unik tentang Tuhan. Akan tetapi kalau kita sudah tidak mau, dia hidup datam zona nyaman dan dia hanya memahami A,B,C tentang Tuhan maka kerohaniannya berhenti sampai di situ. Pimpinan Tuhan dalam hidup kita tidak semua dalam bentuk positif sebab ada juga dalam bentuk negatif yang kadang-kadang kita tidak suka. Kadang-kadang lewat air mata yang sangat sulit, lewat kepahitan yang sangat sulit, begitulah jalan Tuhan.
Tuhan tak pernah tinggalkan kita. Sepanjang hidup kita bisa terjadi banyak hal, penyelewengan, penyimpangan bisa terjadi tetapi ujung-ujungnya Tuhan tetap baik, tidak ada rencana Tuhan yang jahat dalam hidup kita. Karena itu tidak usah kecawa dalam menghadapi kehidupan ini. Tuhan seperti Bapa menghajar anak-anakNya, cambuk-Nya pun bukan cambuk yang mematikan, tetapi cambuk-Nya punya suatu motivasi menjewer kita pulang untuk tetap kembali berada di jalurnya Tuhan.
Sumber: Warta Jemaat Gereja Duta Injil 20 Mei 2012