Hidup Damai di Tengah Kepelbagaian

Kejadian 17:15-27

Gerrit Singgih dalam bukunya “Mengantisipasl Masa Depan” menuliskan bahwa salah satu konteks Indonesia ialah kepelbagaian agama. Itulah realitas yang tidak bisa kita hindarkan. Kehadiran kita bukan kebetulan ada dan hadir, tetapi karena Allah mengijinkan kita ada dan hadir sebagai bagian integral masyarakat Indonesia. Sebagaimana kehadiran bangsa Israel di tanah pembuangan, Babel. Kehadiran itu bukan kebetulan tetapi diijinkan Allah. Kalau demikian, bagaimana seharusnya sikap kita sebagai orang Kristen yang hadir di Indonesia ini? Dalam Yeremia 29:1-7, Yeremia menulis surat kepada umat israel yang ada di Babel agar hidup dengan wajar sebagaimana masyarakat Babel sendiri, yakni agar mendirikan rumah, bekerja. kawin mawin, bahkan ini yang penting, merasa ikut bertanggungjawab untuk mengupayakan kesejahteraan kota dengan ikut berpartisipasi aktif bersama-sama berjuang. Perintah ini sangat serius, karena itu dalam ayat 7 disebutkan agar umat juga berdoa (makna ketulusan) untuk kesejahteraan kota di mana mereka tinggal. Itu berarti berusaha untuk hidup dalam kerukunan dan perdamaian.

Nas renungan kita ayat 15-27, inilah janji Allah kepada Abraham. Bila janji sudah terucap pantang untuk diingkari, seperti anak panah yang telah dilepaskan dari busurnya tidak mungkin ditarik kembali, namun terus bergerak menuju sasaran atau tujuan. Melalui firman-Nya Allah berjanji kepada Abraham bahwa istrinya Sarah akan menjadi ibu bangsa-bangsa, akan memperoleh berkat, dan akan melahirkan seorang anak yang sudah lama dinantikan. Namun dalam janji-Nya Allah bergerak bukan dalam jangkauan domain logika manusia. Dia berada dan ada sebagaimana Dia ada (llahi, Transenden, dan Immanen). Dan inilah yang dilakukan Allah agar Abraham dan Sara mengerti bahwa berkat keturunan yang dijanjikan Allah nantinya tidak dipahami sebagai suatu kebetulan atau rencana manusia, tapi sungguh-sungguh suatu intervensi Allah, pemberian Allah. Ishak yang lahir dari Sara adalah keturunan yang tidak saja sebagai target pemenuhan janji, tetapi lebih dari itu sebagai keturunan dimana Allah akan mengadakan perjanjian kekal.

Abraham bersama istrinya Sarah tidak berlaku memusat hanya kepada diri, namun juga bergerak memperluas wilayah berkat Allah kepada anaknya Ismael yang dilahirkan Hagar sang hambanya: “Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!” Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar. Jadilah kehidupan yang terberkati di mana tercipta hidup yang diberkati dan memberkati, menerima dan berbagi, terbuka dan mencair, serta merakyat bersosialisasi. Sesungguhnya model kehidupan seperti inilah yang harusnya dibangun setiap orang sehingga keluarga, kelompok, persekutuan, dan warga bangsa yang majemuk ini terberkati. Sekalipun Ismail lahir dari seorang perempuan yang berstatus hamba, namun Abraham tidak melupakan, berlaku curang terlebih tidak berlaku diskriminatif dalam hal berkat.

Bagaimana kita memahami nas renungan kita bila dihubungkan dengan tema minggu ini “Indahnya kebersamaan”. Yang jelas adanya Ismael dan keturunannya dan Ishak dengan keturunannya bukan kebetulan. Itu juga karena seijin Allah. Ismael diyakini sebagai nenek moyang bangsa Arab (sebagaimana juga tercantum dalam perikop renungan kita) yang juga diberkati dengan keturunan yang sangat banyak dan menghasilkan dua belas raja-raja yang berkuasa dan Ishak nenek moyang bangsa Ibrani yang kemudian menjadi Israel adalah suatu realitas. Demikian juga kalau sejarah mencatat bahwa memang terjadi pertentangan antara kedua bangsa-bangsa keturunan masing-masing yang tetap mewarisi konflik sampai saat ini adalah juga suatu realitas. Walaupun semua itu realitas, namun kita harus mengatakan bahwa orang Kristen bukan keturunan Ishak dan bukan juga keturunan Ismael. Kita adalah anak-anak Allah oleh karena Yesus Kristus. Kita diselamatkan bukan karena kita keturunan Abraham, Ishak atau Yakub, tetapi diselamatkan oleh karena kasih karunia Allah di dalam percaya kepada Yesus Kristus. Karena itu kita tidak perlu menempatkan diri ke dalam pertentangan tersebut dengan menyatakan pro A atau pro B. Sebagai orang Kristen (pengikut Kristus) kita seharusnya hidup sesuai dengan kehendak Yesus Kristus. Yang jelas Yesus tidak menghendaki kita saling bermusuhan, apa lagi saling membunuh. Tetapi sebaliknya agar kita mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama manusia, itu berarti hidup sebagai sesama manusia terhadap semua manusia. Oleh karena itu berbicara tentang hidup damai di tengah-tengah kepelbagaian agama seharusnya dipahami sebagai panggilan iman kita, dan itu berarti seharusnya setiap orang Kristen menjadi pelopor-pelopor perdamaian. Merdeka. Amin. (krs)

Sumber: Warta Jemaat HKBP 19 Agustus 2018