Saudara-saudara, dalam bacaan diatas, beberapa kali terdapat kata-kata “tidak dapat menjadi murid-Ku”? Berapa kali? Daripada tunggu jawaban lama-lama, saya jawab sendiri: tiga kali. Ternyata, kata-kata ini, dalam perikop ini, sampai tiga kali diucapkan oleh Yesus. Biasanya, apabila sesuatu diulang-ulang, itu berarti sesuatu yang penting bukan? Akan tetapi, kali ini pendekatan Tuhan Yesus adalah pendekatan negatif. Coba saudara perhatikan yang pertama, “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Di sini, Tuhan Yesus mengatakan, seolah-olah untuk menjadi murid Yesus, kita harus :membenci ayah, membenci ibu, membenci istri, atau kalau bahasa prokemnya: membenci bokap, nyokap, pembokat, dan lain-lain. Lalu, apakah benar bahwa Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus membenci orang yang kita kasihi ? Sebenarnya tidak. Para penafsir Alkitab mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan Yesus memakai gaya bahasa hiperbola dalam kasus ini, yaitu gaya bahasa yang melebih-lebihkan sesuatu untuk menekankan makna. Faktanya, Alkitab menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sangat sering memakai gaya bahasa hiperbola. Ada gaya bahasa hiperbola lainnya terlihat dari firman-Nya yang menyatakan, “Kalau matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah. Kalau tanganmu menyesatkan engkau, potonglah dan buanglah. Begitu juga dengan kakimu.” Bayangkan kalau kita melakukannya secara harfiah. Pasti surga hanya dihuni orang buntung atau orang buta. Sebab, kita berdosanya enggak sekali saja,kan ? Hari ini mata kanan, besok mata kiri; minggu depan tangan kanan, lalu tangan kiri; bulan depan, kaki kanan, lalu kaki kiri. Habis deh ! Masuk surga, kita sudah buntung. Jadi ngapain aja kita di surga kalau cuma gelinding-gelinding aja? Pada hal, dalam gaya bahasa hiperbola, itu merupakan penegasan agar kita jangan bersikap toleran terhadap dosa. Dalam perikop yang kita baca, perintah untuk membenci siapapun yang kita kasihi itu merupakan gaya bahasa hiperbola untuk menegaskan bahwa ketaatan kepada Kristus merupakan hal yang utama sementara relasi antar manusia kita kesampingkan.
Dalam hal ini, Tuhan Yesus seolah-olah hendak mengatakan bahwa relasi yang paling primer sekalipun harus dikalahkan demi relasi dengan Tuhan. Hubungan-hubungan antar manusia yang paling akrab pun harus tunduk pada hubungan dengan Kristus. Artinya, kalau pada suatu waktu dituntut taat kepada Kristus atau taat kepada orangtua maupun saudara, kita harus rela mengorbankan ketaatan kita kepada mereka. Itulah maksud Tuhan Yesus. Jadi, ada resiko, ada harga yang harus dibayar, kalau mau menjadi murid Yesus. Dahulu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), ada buku bacaan yang berjudul Matahari Terbit. Dalam buku bacaan itu, ada cerita tentang seorang ayah mengajak anaknya mencuri mangga di kebun orang lain. Si ayah menyuruh anaknya berjaga di jalan setapak di depan kebun itu. Sebelum memanjat pohon mangga, si ayah berpesan kepada anaknya kalau ada orang yang hendak lewat, si anak harus cepat-cepat berteriak supaya ayahnya cepat-cepat turun dari pohon mangga. Namun, ketika si ayah baru memanjat pohon mangga, anaknya sudah berteriak, “Ayah, ada yang lihat.” Dengan tergopoh-gopoh, ayahnya turun dari pohon dan berlari menemui anaknya. “Mana? Mana?” tanyanya. Anaknya menjawab, “Itu Tuhan melihat Ayah.” Eh, bukannya disayang karena telah mencegahnya berbuat jahat, kepala anak itu malah dijitak oleh ayahnya.
Terlepas dari pro kontra mengenai sikap si ayah, anak di dalam kisah ini hendak menyatakan ketaatannya kepada Tuhan yang melebihi ketaatannya kepada ayahnya. Jadi, ucapan Tuhan Yesus itu hendak mengatakan bahwa relasi-relasi antar manusia yang paling primer pun harus tunduk di bawah relasi kita dengan Kristus, Kalau kita menjadi murid Kristus, artinya relasi yang paling utama dan pertama yang kita miliki adalah dengan Kristus, relasi-relasi lain menjadi sekunder. Artinya, sewaktu-waktu kita dapat dituntut untuk membayar dengan harga mahal, di mana kalau perlu hubungan kita dengan orang yang kita kasihi itu menjadi tegang, bahkan putus. Lalu, coba saudara perhatikan ayat 27 :”Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu.” Ini pernyataan kedua mengenai “Ia tidak dapat menjadi muridKu” Coba saudara perhatikan ayat 26 :”Barangsiapa tidak menyangkal, tidak membenci bapanya, ibunya … tidak dapat menjadi murid-Ku … barang siapa tidak memikul salibnya tidak dapat menjadi murid-Ku. Baru pada ayat 33 dikatakan, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya.” Ayat 33 ini merupakan klimaks dan kesimpulan dari dua ayat pertama. Maksudnya di sini, dengan menyangkal ayah, ibu, dan seterusnya atau memikul salib berarti melepaskan diri dari segala sesuatu yang dimiliki. Dalam bahasa aslinya, digunakan kata Yunani apotasetbai; yang artinya pamitan melepaskan diri. Jadi, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kita tidak berarti harus membenci orangtua, pasangan, atau harta kita. Kita tetap dapat memiliki mereka, namun kita tidak boleh terikat sedemikian rupa dengan mereka sehingga menghalangi kita untuk taat kepada Kristus.
Jadi, perikop Lukas 14 ayat 25-35 sebenarnya bukan mengajarkan agar kita harus benar-benar memusuhi ayah dan ibu kita. Maksud sebenarnya adalah kita tidak boleh menempatkan diri sedemikian rupa sehingga ikatan-ikatan duniawi itu, termasuk ikatan-ikatan adat-istiadat, menghalangi hubungan kita dengan Allah. Ada banyak suku di Indonesia yang sangat terikat ketat pada adat. Bahkan, kadang kala Injil pun kalah oleh adat. Sikap yang berusaha tidak terkekang oleh ikatan-ikatan duniawi inilah yang disebut sebagai salib kita. Oleh karena itu, dalam perikop diatas Tuhan mengatakan ayat yang terkenal, “Barang siapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”. Ada harga yang mesti dibayar, ada ongkos kalau mau jadi murid Yesus, ada konsekuensi, ada risiko. Ongkos itu sendiri harus disadari sejak awal, bukan jika sudah di tengah jalan. Bukan sesudah menjadi Kristen, ia baru mengatakan, “Aduh, nyesel deh. Kalau begitu gue enggak jadi orang Kristen aja deh..” Barangkali, itulah yang diungkapkan Yesus dengan pernyataan “Barang siapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
Sumber: Warta Jemaat Gereja Duta Injil 10 September 2017