Dipilih sejak dari Kandungan

Yeremia 1:4-10

Yeremia dipanggil dan diutus Tuhan menjadi nabi di tengah-tengah kelaliman bangsa Israel yang sangat menyakiti hati Tuhan. Sebagai nabi, dia adalah penyambung lidah yang menyampaikan isi hati Tuhan. Dalam usia mudanya, Yeremia harus menegur dan bahkan menyampaikan peringatan dan hukuman Tuhan atas umat-Nya Israel, yang telah terbiasa dan hidup mapan di dalam dosa. Bukan pula karena tidak ada nabi maka Yeremia diutus Tuhan, namun karena para imam dan nabi serta pemimpin Israel semua telah sama-sama nikmat dengan dosa dan segala perbuatan jahat.

Kondisi yang sama senantiasa terbuka dalam masa hidup kita, kapan dan di mana pun. Kita masing-masing juga dapat menjadi bagian dari realita yang sama, apakah pada posisi bangsa Israel atau nabi Yeremia. Setiap orang juga dapat berkata menurut persepsi dan kepentingannya. Bahkan secara global semua orang akan dapat menyetujui dan memilih ada di pihak mana, lalu mempengaruhi dan mengajak sebanyak mungkin orang untuk setuju dan sepakat dengan kecenderungan dan pilihannya sekaligus menolak dan melawan pihak lain yang berbeda.

Realita semacam itu tentu bukan sebuah kondisi ideal yang mendatangkan ketenangan jiwa dan sukacita. Itulah sebabnya juga Tuhan memilih orang seperti Yeremia sebagai hamba-Nya. Jika Yeremia dipilih dan ditetapkan Allah menjadi nabi sebelum dibentuk dalam rahim ibunya, sesungguhnya kita juga, di dalam Yesus Kristus, telah dipilih sebelum dunia dijadikan-Nya (Ef 1:3-4). Tentunya bukan untuk kepentingan pribadi dan menuruti keinginan hati kita. Sebab sama seperti Yeremia, dia menderita karena “dipaksa” oleh Tuhan. Namun satu hal yang pasti, bahwa kehendak dan ketentuan Tuhan tidak dapat dikompromikan dan berdamai dengan dosa. Tujuannya semata-mata untuk keselamatan umat yang dikasihi-Nya.

Hari-hari ini berbagai kelompok dan komunitas orang semakin berani dan terbuka memperjuangkan pendapat dan kepentingannya. Masing-masing menentukan pendapat dan sikapnya dengan segala macam argumentasi rasional, paling tidak menurut mereka. Berbagai pandangan ilmiah, hukum dan HAM serta teori diramu untuk membenarkan kepentingan dan kecenderungan hatinya. Ancaman hukuman Tuhan pun dipandang setengah hati bahkan tak peduli. Kecenderungan hati lebih diutamakan daripada takut akan Tuhan. Di masyarakat kita sekarang, banyak kasus yang menyakiti hati Tuhan, semakin diminati dan dinikmati umat manusia.

Kasus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) adalah satu di antaranya. Sadar atau tidak, mereka berusaha menularkan “virus” dan pengaruh kepada semua orang. Bahkan di antara tokoh gereja juga ada yang membenarkan dan membela mereka atas nama HAM dan rasa kemanusiaan. Hak manusia begitu dipuja-puji dan dimuliakan, dan Tuhan dibelakangkan, dianggap sepi dan tidak lagi punya hak. Mereka menganggap berbaik hati untuk tidak usah merepotkan Tuhan. Kitab Suci sudah tidak zaman lagi, maka harus dikoreksi! “Kok urusan gitu saja pakai campur tangan Tuhan?” Syukurlah, aturan gereja kita HKBP jelas memberikan panduan dan argumentasi baku, bahwa hidup dan perilaku kita hanya menurut kehendak Tuhan. Amin!

Dikutip dari Warta Jemaat HKBP 31 Januari 2016