Meneropong Hari-hari, Menangkap Arti

Tanpa disadari kita sudah ada di penghujung tahun, hari-hari lewat terasa begitu cepat. Bagaikan mimpi yang mengisi seluruh kehidupan kita, ada kalanya mimpi yang indah, ada kalanya mimpi buruk, silih berganti. Sungguh seperti yang dikatakan Musa pada Mazmur 90:1-12.

Musa mengajak kita untuk mengevaluasi hari-hari yang kita lewati agar kita dapat mempersiapkan diri dengan bijaksana, menyongsong hari-hari yang akan kita hadapi:

1. Hari yang kita lalui sangat cepat dan singkat, seperti yang tercatat dalam ayat 10b “Sebab berlalunya buru-buru, dan kamu melayang lenyap”. Waktu kita adalah pemberian Tuhan. Manusia tidak mampu memperpanjang waktu atau mempersingkat waktu bagi dirinya sendiri. Bagaimana kita mengisi waktu yang singkat ini? Bagaimana kita mempertanggungjawabkan waktu yang Tuhan berikan kepada kita? Seringkali kita mengisi waktu yang singkat ini dengan tamak serakah, hanya mati-matian mencari keuntungan dan kepuasan bagi diri sendiri tanpa bertanya, apa tujuan Allah memberi waktu kepada saya?

Kita menggunakan waktu secara tidak bertanggung jawab, memboroskan waktu dengan bingung, tanpa tujuan, tanpa membuat perencanaan atas waktu yang diberikan, bermalas-malasan melewati hari tanpa memiliki perasaan bertanggung jawab kepada Sang Pemberi Waktu. Waktu harus diisi dan dipertanggungjawabkan penggunaannya bukan hanya berarti dan bermakna bagi diri sendiri, tetapi berarti dan bermakna bagi orang lain, yang memenuhi maksud pemberian waktu bagi kita oleh Tuhan.

2. Hari yang kita lewati dalam kegemasan dan anugerah Tuhan, seperti yang tercatat pada ayat 8 “Engkau menaruh kesalahan kami di hadapan-Mu dan kami yang tersembunyi dalam cahaya wajah-Mu” ayat 9 “sungguh segala hari kami berlalu karena gemas-Mu…”, sungguh hari-hari yang kita lewati banyak hal yang tidak benar di mata Tuhan, yang membuat Tuhan merasa gemas kepada kita (arti “gemas” adalah jengkel). Cara berpikir cara bersikap kita lebih banyak pembenaran diri. Yang memojokkan orang lain, yang mencerminkan rasa kesombongan, merasa memojokkan orang lain adalah suatu kebanggaan dan kemenangan, tanpa merasakan apa yang sedang dirasakan orang tersebut atas tindakan kita. Sikap pembenaran diri yang menghasilkan alasan-alasan logis menjadi dasar kebenaran kita, mengukur, menimbang sesuatu atas diri orang lain berarti mengabaikan perintah Tuhan untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri. Melihat diri lebih hebat dari orang lain, lebih benar dari orang lain, semua ini tidak berkenan bagi Tuhan yang membuat Tuhan jengkel kepada kita.

Namun kasih-Nya yang panjang sabar dan tak terukur oleh manusia, sehingga “kesalahan kami dan dosa kami disembunyikan dalam cahaya wajah-Nya” (ay 8,9). Anugrah pengampunan Tuhan yang menyatakan kesabaran-Nya, empati-Nya kepada kita yang terperangkap dalam kesalahan, untuk memberi kesempatan kepada kita bersama Tuhan berjuang untuk semakin hari semakin lebih baik.

Anugrah pengampunan Tuhan menjadi teladan bagi kita untuk berempati kepada pergumulan orang lain, menjadi suatu tindakan kasih yang dinyatakan kepada sesama. Semua ini boleh menjadi perenungan kita dalam mengevaluasi diri atas hari-hari yang kita lewati yang dapat menjadikan hati kita penuh bijaksana di hari-hari yang akan kita hadapi.

Dikutip dari Warta Jemaat Antiokhia 4 Januari 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *