Quo Vadis, Domine?

Kata ini mengandung sejarah yang pernah terjadi dalam tradisi sejarah gereja. Konon ketika Roma dibakar oleh Kaisar Nero (Lucius Domitius Ahenobarbus), orang Kristen teraniaya. Ia membunuh ibunya sendiri dan meracuni bibi yang membesarkannya. Aniaya yang dilakukan terhadap orang Kristen sangat kejam. Ia suka membuang orang Kristen ke kandang binatang buas menjadi tontonan yang mengasyikkan.

Petrus berlari meninggalkan kota Roma untuk menyelamatkan diri, tetapi di jalan ia bertemu dengan Tuhan Yesus yang berjalan bertentangan dengan arahnya. Ia bertanya: “Hendak kemana Tuhan?”, Tuhan Yesus menjawab bahwa Ia akan masuk kota Roma untuk mendampingi umat-Nya. Petrus merasa tertegur. Ia malu. Ia menyadari sikapnya yang pengecut, tidak bertanggung jawab dan mencari kenyamanan. Kemudian ia kembali ke kota Roma. Menurut cerita dalam sejarah gereja, ia mati disalib dengan kepala di bawah. Dalam tradisi gereja, Petrus sebelum mati berkata bahwa kalau Tuhannya mati dengan kepala di atas, ia tidak layak mati dengan kepala di atas, maka ia disalib dengan kepala di bawah.

Pelajaran apakah yang dapat kita petik dari sejarah ini? Petrus merupakan gambaran orang Kristen hari ini yang menghindarkan diri dari resiko mengiring Yesus. Ia berusaha melarikan diri dari tugas dan tanggung jawab. Ia menolak kesempatan atau peluang yang disediakan-Nya untuk menderita bagi Kristus (Filipi 1:29). Mengapa penderitaan adalah karunia? Sebab penderitaan adalah jalan kepada kemuliaan (Roma 8:17). Penderitaan yang kita alami mengerjakan kemuliaan (Roma 8:18). Penderitaan mengerjakan kemuliaan (1 Kor 4:17). Kemuliaan atas orang-orang yang menderita bagi Kristus.

Di sini kita menemukan kemuliaan seorang hamba. Memikul salib adalah salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi setiap orang yang hendak mengikut Yesus. Harus dipisahkan penjelasan menyangkal diri dan memikul salib, sebab masing-masing memiliki pengertian yang “khas”, dan ke-“khas”-an masing-masing harus dijelaskan secara khusus. Hal ini dimaksudkan supaya jangan terjadi kerancuan pengertian antara menyangkal diri dan memikul salib.

Tuhan Yesus jelas berkata bahwa setiap orang yang mau mengikut Dia harus memikul salibnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang Kristen pasti memiliki salibnya masing-masing. Ini berarti seharusnya setiap kali orang tertumbuk dengan salib itu berarti kita bukan hanya menghubungkannya dengan Yesus dan pengorbanan-Nya, tetapi juga menghubungkannya dengan kita. Ingat salib, ingat kehidupan kekristenan yang benar. Ingat salib, ingat pengiringan kita terhadap Yesus. Salib identik dengan kehidupan orang percaya.

Dalam beberapa ayat yang terdapat dalam Alkitab menunjuk kepada pengertian kematian dari segala sesuatu yang duniawi (Gal 2:19; 5:24; 6:14). Ini adalah suatu pergumulan yang membawa seseorang merasa “sakit”. Salib dalam kekristenan merujuk kepada penderitaan yang ditanggung seseorang demi berkat dan keuntungan orang lain. Salib tidak menunjuk kepada kelemahan, kekurangan atau kegagalan kita seperti anggapan orang pada umumnya. Salib berbicara mengenai penderitaan yang kita tanggung bukan karena kesalahan kita, tetapi oleh karena kita melayani Tuhan dan mau memberkati orang lain.

Tuhan Yesus memberi teladan kepada kita sebuah kehidupan yang dipersembahkan kepada Bapa. Sebuah kehidupan yang memberkati orang lain. Teladan itu harus kita kenakan. Kehendak-Nya dalam hal ini mengalir jelas dalam Alkitab misalnya dalam 1 Yoh 3:16. Dalam ayat ini nyatalah bahwa kadar kasih yang kita harus berikan pada orang lain sama dengan kadar kasih yang Yesus berikan kepada kita. Ini adalah sebuah pengorbanan yang tinggi, sebuah salib.

Dikutip dari Warta Jemaat Rehobot Ministry 30 November 2008

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *