Barangsiapa Merendahkan Diri, Ia Akan Ditinggikan

Lukas 18:9-14

Tuhan kita itu Maha Penerima. Siapa saja ia terima: gembala (di Efrata) la terima, nelayan (seperti murid Yesus Petrus dan Andreas} Ia terima. Pemungut cukai (Lewi, Matius) la terima, orang Samaria, Ia terima, orang berzinah, Ia ampuni. Tetapi siapa yang Yesus tidak mau terima? Yesus tidak menerima orang yang sombong. Yesus berkata: “Aku datang untuk orang yang berdosa, bukan untuk orang yang benar.” Artinya, bukan untuk orang yang merasa diri benar. Lukas 18:9 berkata: “Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini.” Jadi, bagi Yesus, menganggap diri benar dan memandang semua orang lain rendah, salah, sesat dan najis adalah dosa yang serius. Jangan menganggap cuma diri sendiri saja yang benar.

Hal ini dikatakan Tuhan Yesus dalam perumpamaan tentang seorang pemungut cukai dan seorang Farisi. Kedua orang ini datang kepada Allah untuk berdoa. Farisi itu berdoa dengan ciri khasnya, menengadah ke langit dengan doa yang panjang-panjang. Dia berdoa kepada Allah dan berkata: Ya Allah, aku mengucap syukur kepadaMu, karena aku tidak sama dengan semua orang lain, bukan perampok dan bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan pula seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata : Ya Allah kasihanilah aku orang yang berdosa ini.

Dua sikap berdoa dari orang yang berbeda dalam perumpamaan Yesus dalam Lukas 18:9-14. Farisi mengaku secara panjang lebar tentang hidup beragamanya. Dia mengaku telah melakukan perintah Tuhan dalam hidupnya, dengan kata lain, dia berdoa kepada Tuhan sebagai “orang yang sempurna”, bukan orang yang pantas untuk dikasihani. Orang yang bersikap seperti ini adalah orang yang tidak memerlukan Allah, tidak merasa perlu merendahkan hati di hadapan Allah. Kalaupun datang kepada Allah, sebenarnya hanya mau pamer saja. Minta pujian. Atau datang kepada Allah untuk menagih, “saya sudah membawa amal saya, kebaikan saya, karya saya. Sekarang mana upah saya?” Orang yang demikian tidak membutuhkan Juruselamat, karena kebaikan, kebenaran dan kehebatan dirinya sudah cukup. Tuhan yang perlu dia bukan dia yang perlu Tuhan. Kelihatannya imannya selangit, tetapi sebenarnya bukan iman. Dan ini kita sebut dengan kesombongan rohani.

Kesombongan dan keangkuhan rohani inilah justru menutup pintu kasih karunia Allah dalam hidupnya. Sikap sombong dan angkuh ini menjadi sikap yang dicela oleh Allah. Sebab orang yang beriman adalah orang yang datang kepada Tuhan seperti pemungut cukai (ay. 13: berangkat dari penyesalan diri – memukul diri, dan kesadaran akan keberdosaan dirinya – bnd 1 Tim 1:15), sehingga pintu anugerah Allah terbuka lebar-lebar baginya oleh karena kerendahan hatinya. Di ayat 14 Yesus berkata, “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak.” Mengapa yang lain tidak dibenarkan? Jawabnya: karena ia sudah merasa diri benar. Tidak perlu dibenarkan oleh Allah, merasa sudah bisa membenarkan dirinya sendiri.

Saudara-saudara yang terkasih… Hanya orang sakit yang memerlukan dokter, bukan orang yang sehat. Yang sangat berbahaya adalah orang yang sebenarnya sakit, tetapi merasa tidak sakit, merasa diri sehat, oleh karena itu tidak mau ke dokter. Berdoa tetapi tidak mau mengakui dirinya berdosa. Bukan minta ampun tetapi justru menyombongkan diri. Apa akibatnya? Ya celaka! Itulah orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang. Tidak ada alasan bagi kita untuk bermegah dalam hidup ini, sebab kalaupun ada kebaikan yang dapat kita lakukan, sesungguhnya itu hanyalah bayangan dari kebaikan yang sejati. Jadi rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan supaya Ia meninggikanmu. Amin.

Sumber: Warta Jemaat HKBP 23 Oktober 2016